Kasus cyberbullying pada remaja
Media
online atau media sosial pada zaman sekarang bukan lagi hal yang tabu,
selain kegunaannya yang berdampak positif seperti sebagai alat komunikasi dan
informasi, media online juga dapat berdampak negatif. Dari anak-anak
hingga orang dewasa pasti mengenal dan menggunakan media online untuk
berkomunikasi dan untuk memperoleh banyak informasi.
Hal ini membuat banyak
orang yang tidak menggunakan media online dengan baik dan benar,
melainkan menggunakannya untuk hal-hal yang negatif. Salah satu dampak negatif
yang sudah tidak asing lagi dalam penggunaan media ini adalah cyberbullying.
Cyberbullying adalah perlakuan kasar yang dilakukan oleh seseorang atau
sekelompok orang, menggunakan bantuan alat elektronik yang dilakukan secara
berulang dan terus menerus pada seorang target yang kesulitan membela diri
(Smith dkk., 2008; dalam klikpsikologi, 2013). Singkatnya cyberbullying
merupakan suatu bentuk kejahatan yang dilakukan seseorang melalui media sosial
atau media online dengan menggunakan sarana teknologi komunikasi dan media
elektronik terhadap orang lain dengan tujuan tertentu.
Cyberbullying
pada umumnya dilakukan melalui media situs jejaring sosial seperti Facebook,
Twiter, Yahoo Massenger, dan Email. Pelaku dari cyberbullying itu
sendiri kebanyakan adalah para remaja. Mereka malakukan hal tersebut
dikarenakan banyak faktor yang mempengaruhinya, seperti dendam, sakit hati,
iri, cemburu, marah, dan ingin terlihat hebat, serta dilakukan dengan sengaja
dan secara berulang.
Salah satu contoh kasus cyberbullying yang berakhir tragis adaah kasus dari seorang remaja perempuan bernama Amanda Todd yang memutuskan untuk bunuh diri setelah tidak dapat menerima perlakuan buruk dari teman teman dan lingkungannya.
Amanda Michelle Todd adalah seorang ABG
yang lahir pada tanggal 27 November 1996. Dia tinggal di British Columbia,
Kanada. Dia melakukan bunuh diri dengan cara gantung diri pada tanggal 10
Oktober 2012 di rumahnya, di Port Coquitlam, British Columbia, Kanada. Sebelum
dia gantung diri, tepatnya pada tanggal 7 September 2012, dia mem-posting
sebuah video di Youtube. Di dalam video itu dia menggunakan tumpukan
kartu-kartu yang ada tulisannya, yang kemudian kartu-kartu itu dia buka
bergantian untuk menunjukkan tulisan-tulisan yang tertera di sana. Video
berdurasi sekitar 9 menit itu berjudul My Story: Struggling, bullying,
suicide and self harm. Pada tanggal 13 Oktober 2012, video itu ditonton
oleh lebih dari 1,6 juta orang dari seluruh dunia.
Cyberbullying sangat sering dikaitkan dengan
konsep bullying lama yang juga sering dikaitkan dengan agresivitas. Ada
banyak teori yang menjelaskan alasan dibalik munculnya agresivitas pada
seseorang. Salah satu teori modern yang banyak dikenal adalah general
aggression model (GAM) yang dikemukakan oleh Anderson & Bushman
(2002; dalam Baron & Branscombe, 2012). General aggression model theory ini
sendiri menerangkan bahwa agresi dipicu oleh beberapa variabel yang memiliki
pengaruh terhadap arousal, jenjang afek, dan kognisi dalam cakupan yang
luas. Menurut teori ini, serangkaian kejadian yang pada akhirnya dapat menuju
ke arah agresivitas bisa dipicu oleh dua macam input variables: (1)
faktor-faktor yang berkaitan dengan situasi saat ini (situational factors)
dan (2) faktor-faktor yang berkaitan dengan orang-orang yang terlibat di
dalamnya (person factors) (Baron & Branscombe, 2012).
Faktor
lain yang mungkin berpengaruh dalam cyberbullying adalah adanya pengaruh
dari teman sebaya atau konformitas. Remaja yang sedang dalam masa pertumbuhan,
banyak dipengaruhi oleh lingkungannya, terutama lingkungan keluarga dan
teman-teman di sekolah. Seiring berkembangnya anak-anak menjadi remaja,
kelompok teman sebaya memiliki dampak yang lebih besar dalam membentuk sikap
dan perilaku anak. (Warr, 1993; dalam Hinduja & Patchin, 2013). Selain itu,
terdapat suatu hal yang perlu digaris bawahi, bahwa dampak dari konformitas
oleh teman sebaya nampaknya memiliki pengaruh lebih besar terhadap
kecenderungan perilaku yang dipilih seorang remaja dibandingkan dengan dasar
kecenderungan kenakalan yang memang dimiliki oleh remaja itu sendiri (Warr
& Stafford, 1991; dalam Hinduja & Patchin, 2013). Hal inilah yang
kemudian membawa adanya potensi melakukan cyberbullying karena
konformitas dari lingkungan pergaulan dan kelompok teman sebaya yang dimiliki
para remaja yang cenderung melakukan cyberbullying.
Melalui
perspektif psikologi perkembangan, fenomena cyberbullying dapat
dijelaskan melalui teori perkembangan psikososial Erik Erikson. Seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya bahwa kebanyakan kasus cyberbullying terjadi
pada individu usia remaja. Pada teori perkembangan psikososial Erik Erikson,
remaja masuk ke dalam tahapan kelima yaitu tahap identity versus identity
confusion. Dalam tahap ini Erikson menyebutkan istilah psychosocial
moratorium, yaitu suatu transisi para remaja, dari anak-anak yang masih
membutuhkan tuntunan, menuju ke masa dewasa dimana remaja mulai menanggung
beban tanggung jawabnya sendiri (Santrock, 2012).
Dalam masa ini orang tua dan
masyarakat cenderung memberikan sedikit kebebasan bagi para remaja untuk
bereksperimen dalam tujuan mencari jati dirinya. Berbagai pengalaman ini
dilakukan dengan tujuan untuk mencari tahu dimana posisi yang tepat dan cocok
bagi anak untuk hidup. Dalam tahap ini remaja yang berhasil dalam mengatasi
krisis jati dirinya maka akan membentuk pribadi yang sukses dan diterima oleh
masyarakat. Sementara itu, remaja yang tidak mampu menanggulangi konflik
kebutuhan dan krisis identitas di dalam dirinya akan terjatuh ke dalam suatu
kondisi yang disebut oleh Erikson sebagai identity confusion (Santrock,
2012).
Para remaja yang kehilangan identitas dirinya dan tidak berhasil dalam
meregulasi konflik di dalam dirinya ini cenderung mudah mendapatkan masalah di
lingkungannya, baik di dalam lingkungan sekolah maupun keluarga dan masyarakat.
Dampak dari identitiy confusion ini sendiri bisa jadi salah satu dari
dua kondisi berikut ini:
(1) individu akan menarik diri dan mengisolasi dirinya
dari masyarakat dan sosial, seperti teman-teman dan keluarga, atau
(2) individu
jatuh terbenam di dalam dunianya dengan teman-temannya dan kehilangan
identitasnya di dalam kerumunan orang-orang tersebut (Santrock, 2012).
Dua
kemungkinan ini yang paling dekat dan menjelaskan mengapa kebanyakan kasus cyberbullying
terjadi pada remaja. Bila seorang remaja jatuh ke dalam kondisi pertama, besar
kemungkinannya ia menjadi korban dari cyberbullying, karena individu
tersebut mengisolasi dirinya sendiri. Sementara para pelaku cyberbullying sendiri
besar kemungkinannya merupakan remaja yang jatuh ke dalam kondisi kedua, dimana
mereka melakukan tindak kejahatan melalui media internet karena adanya pengaruh
dari teman-teman sebayanya, sebagaimana penjelasan dari adanya faktor
konformitas yang telah dijelaskan dalam perspektif psikologi sosial.
nb: blog ini dibuat untuk memenuhi tugas softskills tentang cyberbullying.
Komentar
Posting Komentar