Kasus cyberbullying pada remaja

Media online atau media sosial pada zaman sekarang bukan lagi hal yang tabu, selain kegunaannya yang berdampak positif seperti sebagai alat komunikasi dan informasi, media online juga dapat berdampak negatif. Dari anak-anak hingga orang dewasa pasti mengenal dan menggunakan media online untuk berkomunikasi dan untuk memperoleh banyak informasi. 
Hal ini membuat banyak orang yang tidak menggunakan media online dengan baik dan benar, melainkan menggunakannya untuk hal-hal yang negatif. Salah satu dampak negatif yang sudah tidak asing lagi dalam penggunaan media ini adalah cyberbullying.

Cyberbullying adalah perlakuan kasar yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, menggunakan bantuan alat elektronik yang dilakukan secara berulang dan terus menerus pada seorang target yang kesulitan membela diri (Smith dkk., 2008; dalam klikpsikologi, 2013). Singkatnya cyberbullying merupakan suatu bentuk kejahatan yang dilakukan seseorang melalui media sosial atau media online dengan menggunakan sarana teknologi komunikasi dan media elektronik terhadap orang lain dengan tujuan tertentu. 
Cyberbullying pada umumnya dilakukan melalui media situs jejaring sosial seperti Facebook, Twiter, Yahoo Massenger, dan Email. Pelaku dari cyberbullying itu sendiri kebanyakan adalah para remaja. Mereka malakukan hal tersebut dikarenakan banyak faktor yang mempengaruhinya, seperti dendam, sakit hati, iri, cemburu, marah, dan ingin terlihat hebat, serta dilakukan dengan sengaja dan secara berulang.
Image result for cyberbullying
Dalam sebuah penelitian mengenai Cyberbullying and Self Esteem mengemukakan bahwa para remaja yang melakukan cyberbullying adalah remaja yang mempunyai kepribadian otoriter dan kebutuhan yang kuat untuk menguasai dan mengontrol orang lain (Patchin & Hinduja, 2010). Remaja tersebut hanya mementingkan dirinya sendiri dibandingkan diri orang lain dan seringkali ia menganggap orang lain tidak ada artinya. Selain itu, hasil dari penelitian pada 30 sekolah menengah atas di Amerika Serikat dengan menggunakan random sampling, juga menekankan pada self-esteem seorang remaja dalam melakukan cyberbullying, yang mana seseorang yang melakukan cyberbullying cenderung mempunyai self-esteem yang rendah karena hal ini merupakan suatu perilaku yang tidak menguntungkan bagi dirinya sendiri dan hanya akan mengarah pada perilaku agresif seseorang. Perilaku tidak terpuji ini juga sangat berdampak pada pelaku cyberbullying itu sendiri, yang mana dengan memiliki self esteem yang rendah akan berdampak pada prestasi akademiknya di sekolah, perilaku kriminal, dan kesehatan yang buruk.

Salah satu contoh kasus cyberbullying yang berakhir tragis adaah kasus dari seorang remaja perempuan bernama Amanda Todd yang memutuskan untuk bunuh diri setelah tidak dapat menerima perlakuan buruk dari teman teman dan lingkungannya.


Amanda Michelle Todd adalah seorang ABG yang lahir pada tanggal 27 November 1996. Dia tinggal di British Columbia, Kanada. Dia melakukan bunuh diri dengan cara gantung diri pada tanggal 10 Oktober 2012 di rumahnya, di Port Coquitlam, British Columbia, Kanada. Sebelum dia gantung diri, tepatnya pada tanggal 7 September 2012, dia mem-posting sebuah video di Youtube. Di dalam video itu dia menggunakan tumpukan kartu-kartu yang ada tulisannya, yang kemudian kartu-kartu itu dia buka bergantian untuk menunjukkan tulisan-tulisan yang tertera di sana. Video berdurasi sekitar 9 menit itu berjudul My Story: Struggling, bullying, suicide and self harm. Pada tanggal 13 Oktober 2012, video itu ditonton oleh lebih dari 1,6 juta orang dari seluruh dunia.


Image result for cyberbullying




Cyberbullying sangat sering dikaitkan dengan konsep bullying lama yang juga sering dikaitkan dengan agresivitas. Ada banyak teori yang menjelaskan alasan dibalik munculnya agresivitas pada seseorang. Salah satu teori modern yang banyak dikenal adalah general aggression model (GAM) yang dikemukakan oleh Anderson & Bushman (2002; dalam Baron & Branscombe, 2012). General aggression model theory ini sendiri menerangkan bahwa agresi dipicu oleh beberapa variabel yang memiliki pengaruh terhadap arousal, jenjang afek, dan kognisi dalam cakupan yang luas. Menurut teori ini, serangkaian kejadian yang pada akhirnya dapat menuju ke arah agresivitas bisa dipicu oleh dua macam input variables: (1) faktor-faktor yang berkaitan dengan situasi saat ini (situational factors) dan (2) faktor-faktor yang berkaitan dengan orang-orang yang terlibat di dalamnya (person factors) (Baron & Branscombe, 2012).

Faktor lain yang mungkin berpengaruh dalam cyberbullying adalah adanya pengaruh dari teman sebaya atau konformitas. Remaja yang sedang dalam masa pertumbuhan, banyak dipengaruhi oleh lingkungannya, terutama lingkungan keluarga dan teman-teman di sekolah. Seiring berkembangnya anak-anak menjadi remaja, kelompok teman sebaya memiliki dampak yang lebih besar dalam membentuk sikap dan perilaku anak. (Warr, 1993; dalam Hinduja & Patchin, 2013). Selain itu, terdapat suatu hal yang perlu digaris bawahi, bahwa dampak dari konformitas oleh teman sebaya nampaknya memiliki pengaruh lebih besar terhadap kecenderungan perilaku yang dipilih seorang remaja dibandingkan dengan dasar kecenderungan kenakalan yang memang dimiliki oleh remaja itu sendiri (Warr & Stafford, 1991; dalam Hinduja & Patchin, 2013). Hal inilah yang kemudian membawa adanya potensi melakukan cyberbullying karena konformitas dari lingkungan pergaulan dan kelompok teman sebaya yang dimiliki para remaja yang cenderung melakukan cyberbullying.


Melalui perspektif psikologi perkembangan, fenomena cyberbullying dapat dijelaskan melalui teori perkembangan psikososial Erik Erikson. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa kebanyakan kasus cyberbullying terjadi pada individu usia remaja. Pada teori perkembangan psikososial Erik Erikson, remaja masuk ke dalam tahapan kelima yaitu tahap identity versus identity confusion. Dalam tahap ini Erikson menyebutkan istilah psychosocial moratorium, yaitu suatu transisi para remaja, dari anak-anak yang masih membutuhkan tuntunan, menuju ke masa dewasa dimana remaja mulai menanggung beban tanggung jawabnya sendiri (Santrock, 2012). 
Dalam masa ini orang tua dan masyarakat cenderung memberikan sedikit kebebasan bagi para remaja untuk bereksperimen dalam tujuan mencari jati dirinya. Berbagai pengalaman ini dilakukan dengan tujuan untuk mencari tahu dimana posisi yang tepat dan cocok bagi anak untuk hidup. Dalam tahap ini remaja yang berhasil dalam mengatasi krisis jati dirinya maka akan membentuk pribadi yang sukses dan diterima oleh masyarakat. Sementara itu, remaja yang tidak mampu menanggulangi konflik kebutuhan dan krisis identitas di dalam dirinya akan terjatuh ke dalam suatu kondisi yang disebut oleh Erikson sebagai identity confusion (Santrock, 2012). 

Para remaja yang kehilangan identitas dirinya dan tidak berhasil dalam meregulasi konflik di dalam dirinya ini cenderung mudah mendapatkan masalah di lingkungannya, baik di dalam lingkungan sekolah maupun keluarga dan masyarakat. Dampak dari identitiy confusion ini sendiri bisa jadi salah satu dari dua kondisi berikut ini: 
(1) individu akan menarik diri dan mengisolasi dirinya dari masyarakat dan sosial, seperti teman-teman dan keluarga, atau 
(2) individu jatuh terbenam di dalam dunianya dengan teman-temannya dan kehilangan identitasnya di dalam kerumunan orang-orang tersebut (Santrock, 2012).

 Dua kemungkinan ini yang paling dekat dan menjelaskan mengapa kebanyakan kasus cyberbullying terjadi pada remaja. Bila seorang remaja jatuh ke dalam kondisi pertama, besar kemungkinannya ia menjadi korban dari cyberbullying, karena individu tersebut mengisolasi dirinya sendiri. Sementara para pelaku cyberbullying sendiri besar kemungkinannya merupakan remaja yang jatuh ke dalam kondisi kedua, dimana mereka melakukan tindak kejahatan melalui media internet karena adanya pengaruh dari teman-teman sebayanya, sebagaimana penjelasan dari adanya faktor konformitas yang telah dijelaskan dalam perspektif psikologi sosial.









nb: blog ini dibuat untuk memenuhi tugas softskills tentang cyberbullying.

Komentar

Postingan Populer